Rabu, 11 Mei 2016



HMI; Kembali Pada Cita-cita Intelektual dan Kemanusiaan
Oleh: Dian K. Sari

Himpunan Mahasisa Islam (HMI) telah berusia 64 tahun pada 5 Februari 2011 ini. Usia yang tidak bisa dibilang cukup tua dan belum muda apabila dianalogikan dengan seorang manusia. Pada usia tersebut, sebagian manusia ada yang sudah tidak bisa beraktivitas lagi karena faktor kesehatan. Selain itu, ada juga sebagian yang masih produktif dan kreatif di usia itu. Namun, organisasi Himpunan Mahasiswa Islam hanyalah sebuah alat, seperti yang diungkapkan Ahmad Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam. Organisasi yang hanya benda mati ini hanya bisa ‘bergerak’ ke depan jika kader-kader yang berada di dalamnya juga bergerak ke depan.

Beberapa tahun terakhir, himpunan ini mengalami degradasi besar-besaran baik secara kualitas maupun kuantitas. Sebut saja degradasi pola pemikiran, intelektual, pergerakan, perkaderan, hingga degradasi jumlah kader. Akibatnya, HMI yang dalam cita-cita luhurnya sebagai organisasi yang berada di dekat kaum-kaum tertindas (mustadh’afin), telah kehilangan orientasi yang mengarah pada cita-cita luhur tersebut. Sehingga masyarakat yang seharusnya menjadi mitra kader HMI, tidak mengenal apa itu HMI. Penurunan ini terlihat pada tubuh HMI secara nasional, meski tidak keseluruhan cabang di nusantara mengalami itu. Pada tulisan ini, penulis menitikberatkan pada kondisi himpunan di Cabang Pontianak.


Memang sulit untuk menilai sebuah aktivitas secara kualitatif, dari segi kuantitatif saja terlihat bagaimana penurunan yang terjadi pada kader HMI di Cabang Pontianak. Misalnya, menurunnya jumlah aktivitas seperti diskusi, rapat koordinasi, upgrading, dan sebagainya. Dimana kegiatan-kegiatan tersebut selain menambah wawasan dan informasi juga dapat mempererat silaturahim antara pengurus dan anggota. Penurunan jumlah aktivitas ini juga diperparah dengan renggangnya hubungan antar komisariat – yang mana selama ini komisariat dianggap sebagai pengokoh berdirinya cabang. Lagi-lagi disebabkan kehilangan orientasi tujuan gerakan HMI.

Padahal, bila ditelaah lebih jauh, gerakan yang dicita-citakan HMI (seperti yang diungkapkan Cak Nur) adalah gerakan intelektual. Itulah sebabnya, beberapa pentolan HMI terlahir sebagai pemikir yang diakui pada skala nasional. Lihat saja Nurcholish Madjid, Anas Urbaningrum, Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, Sulastomo, Agussalim Sitompul, dan yang lainnya. Gerakan intelektual yang dibangun HMI membuat organisasi ini terkenal dengan kekritisan intelektualnya. Namun, tahun-tahun terakhir ini, tradisi intelektual itu seperti telah menguap entah kemana. Sebab itu, perlu dibangun kembali semangat intelektual di dalam tubuh HMI yang dibarengi dengan semangat kemanusiaan  untuk membangun umat dan bangsa ke arah yang lebih baik.

Salah satu bentuk kualitas kader yang dicitakan HMI adalah kualitas insan akademis. Pada kualitas insan akademis ini diperjelas kembali dengan tiga poin. Pertama, berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis. Kedua, memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan, selalu bertingkah laku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan kesadaran. Yang terakhir, sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu pilihannya, baik secara teoritis maupun tekhnis dan sanggup
bekerja secara ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan. Maka dari itu, untuk mewujudkan ketiga poin diatas, dibutuhkan kekuatan tradisi intelektual pada diri kader HMI.

Tradisi intelektual yang dibangun di HMI berupa kebiasaan membaca, menulis, dan berdiskusi. Tiga hal ini tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan kader HMI. Melalui tradisi intelektual ini, kader HMI tidak hanya bisa memahami HMI secara komprehensif, tapi juga memahami setiap disiplin ilmu yang digelutinya. Membangun semangat intelektual tidaklah terlalu sulit bila kader HMI memulainya dari diri sendiri. Menumbuhkan kesadaran diri untuk belajar lebih banyak merupakan starting point yang bagus bagi kader HMI. Oleh karena itu, mengerti bahwa HMI merupakan organisasi intelektual saja sudah cukup mendorong kader-kader HMI untuk terus berkarya melalui aktivitas-aktivitas intelektual tersebut.

Kegiatan intelektual yang didorong para kaum cendekia kepada generasi muda adalah membaca. Mengapa membaca? Umat Islam tentunya mengetahui wahyu Allah yang pertama kali turun adalah Iqro’ yang berarti bacalah. Dari perintah tersebut, sangat jelas bahwa Allah ingin umat-Nya memahami apa yang Dia wahyukan melalui membaca. Bukan hanya membaca secara tekstual dari buku-buku atau tulisan-tulisan, namun juga “membaca” apa yang sudah diciptakan-Nya di muka bumi ini. Dalam artian, bagaimana manusia diberikan akal pikiran dan hati nurani untuk melihat, menelaah, memahami apa esensi penciptaan manusia, karakter manusia itu sendiri, penciptaan tumbuh-tumbuhan dan hewan, dan segala yang ada di sekeliling manusia.

Sebenarnya proses “membaca” yang paling mendasar adalah “membaca” diri sendiri. Mengerti dan mengenal diri sendiri akan membuat manusia rendah hati dan dapat memahami karakter manusia lainnya karena telah mengetahui bahwa tak ada manusia yang sempurna di dunia. Ali bin Abi Thalib juga berkata bahwa siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya, begitu juga apa yang dikatakan oleh Aristoteles, Gnoty Teatons yang artinya kenalilah dirimu. Sehingga akan dengan mudah manusia berjalan di muka bumi karena telah memahami dirinya sendiri dan tugasnya sebagai khalifah fil ardh.

Tradisi intelektual selanjutnya adalah menulis. Menulis apa yang sudah dibaca dan dipahami. Tidak hanya sekedar memenuhi tugas sebagai seorang mahasiswa dengan membuat makalah, namun juga membangun kreativitas dengan menulis. Setelah melakukan proses “membaca” seperti yang telah disebutkan di atas, maka proses tersebut dilanjutkan dengan menulis. Untuk membangun semangat menulis, menulislah hal-hal yang paling kecil dalam kehidupan. Misalnya, menulis aktivitas sehari-hari yang biasanya dituangkan di dalam sebuah buku catatan harian.

Sekali lagi, menulis adalah proses pengenalan terhadap diri sendiri, baik itu karakter maupun pola pikir manusia yang tertuang dalam sebuah tulisan. Tidak hanya mengenal diri sendiri dan orang lain, orang lain pun mengenal seseorang dari tulisan-tulisannya. Penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, berkata bahwa menulis adalah pekerjaan yang abadi. Tulisan-tulisan yang diterbitkan menjadi buku atau jurnal tak akan lekang oleh waktu meski sang penulis telah berada di sisi Tuhannya. Tulisan-tulisan tersebut tak diragukan pula dapat menjadi bukti sejarah yang paling valid dan akurat yang nantinya akan dibaca oleh generasi anak cucu selanjutnya.

Kemudian, aktivitas intelektual yang terakhir adalah diskusi. Diskusi adalah proses pertukaran pikiran, ilmu, ide dan wawasan antar manusia. Di kelas-kelas perkuliahan, ruang kerja, bahkan di luar ruangan pun tak dapat dihindari melakukan aktivitas intelektual yang satu ini. Di setiap perguruan tinggi, kegiatan semacam diskusi ini selalu dilestarikan. Diskusi dapat lahir dari perenungan, pengamatan, atau bacaan yang dibaca. Dengan kegiatan diskusi semacam ini mahasiswa dapat berbagi ilmu, berbagi masalah dan berbagi solusi. Walaupun tak jarang diskusi-diskusi ini melibatkan perbedaan pemikiran individunya yang mengakibatkan terjadi perdebatan panjang yang tiada henti. Oleh karena itu, dalam diskusi biasanya diperlukan seorang moderator atau penengah sebagai pengontrol jalannya diskusi.

Ketiga tradisi intelektual ini menjadi sebuah lingkaran dalam kehidupan mahasiswa umumnya, dan kader HMI khususnya. Karena tanpa membaca dan diskusi tidak akan bisa menulis, tanpa membaca tidak akan bisa berdiskusi dan jika hanya membaca tanpa berdiskusi dan menulis sama saja kita hanya terkungkung dengan bacaan tersebut. Ketiga aktivitas intelektual seperti itulah yang harusnya dimiliki HMI karena terkenal dengan gerakan intelektualnya. Namun, seiring perubahan zaman yang mengakibatkan perubahan pola pikir pula, proses intelektual tersebut juga mengalami kemunduran dan kader HMI mengalami disorientasi gerakan. Lagi-lagi, membangun kembali pandangan bahwa kader HMI adalah kader intelegensia menjadi pekerjaan rumah bagi para pengurus dan anggota HMI.

HMI dan Masyarakat

Di dalam lima kualitas insan cita yang terdapat di tubuh HMI dijelaskan bahwa kader-kader HMI dicetak sebagai insan pengabdi yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur. Pertanyaannya hari ini adalah sejauh mana kedekatan kader HMI dengan masyarakat? Dan sejauh mana masyarakat mengenal organisasi HMI itu sendiri. Himpunan Mahasiswa Islam telah kehilangan taringnya di masyarakat. Padahal salah satu gerakan yang dicita-citakan HMI adalah berada disisi kaum-kaum tertindas. Namun, lagi-lagi harapan tak sesuai dengan kenyataan, bukannya berdiri di sebelah rakyat yang tertindas, kini para kader HMI lebih senang berdiri di sebelah kaum-kaum elit seperti pejabat dan pengusaha.

Pola pikir yang pragmatis dan materialistis disertai dengan gaya hidup yang hedonis membuat para kader HMI lebih senang untuk duduk dekat pejabat dibanding bersusah payah memakmurkan masyarakat. Isu-isu sosial yang menerpa terkadang kurang direspon oleh kader HMI. Disamping itu, kegiatan yang mendekatkan diri kader pada masyarakat juga mulai menurun, seperti tur dakwah, safari ramadhan, bakti sosial, dialog dengan masyarakat, dan sebagainya. Padahal dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut dapat meningkatkan rasa sosial di dalam diri kader HMI. Saat ini yang dibutuhkan masyarakat bukan hanya seorang penggerak yang hanya pandai berbicara, tapi juga pandai berbuat. Berbuat banyak untuk kepentingan umat dan bangsa, tentunya. Oleh karenanya, peran mahasiswa sebagai agen perubahan dan kontrol sosial sangat signifikan untuk dioptimalkan di masyarakat. Padahal, bila dilihat dari sisi historis, Himpunan Mahasiswa Islam didirikan salah satunya karena kondisi keumatan yang berada pada kondisi krisis. Baik itu pemahaman keagamaan – khususnya Islam – secara teoritis, maupun secara praktis. Pada masa itu, selain masalah keumatan, rakyat Indonesia juga tengah dilanda krisis kebangsaan yaitu masalah penjajahan dan organ-organ komunis yang secara ideologis menjadi musuh bersama rakyat Indonesia.

Dari awal terbentuknya, HMI telah memiliki komitmen keumatan dan kebangsaan yang bersatu secara integral sebagai dasar perjuangan HMI yang dirumuskan dalam tujuan HMI, yaitu mempertahankan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang didalamnya terkandung wawasan atau pemikiran kebangsaan atau keindonesiaan, dan  menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam yang didalamnya terkandung pemikiran keislaman. Komitmen tersebut menjadi dasar perjuangan HMI didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai organisasi kader, wujud nyata perjuangan HMI dalam komitmen keumatan dan kebangsaan adalah melakukan proses perkaderan yang ingin menciptakan kader berkualitas insan cita yang mampu menjadi pemimpin yang amanah untuk membawa bangsa Indonesia mencapai asanya. Jadi, seharusnya masalah kemanusiaan, keumatan, dan kebangsaan menjadi orientasi perjuangan kader HMI. Dengan intelektualitas yang mumpuni dan semangat kesalehan sosial yang tinggi, kader HMI diharapkan mampu mewujudkan cita-cita HMI sebagai bentuk pengabdian kepada umat dan bangsa.


REFERENSI:
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (Ed). 1982. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES.
Ahmad Gaus AF. 2010. Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Kompas
Konstitusi HMI.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar