HMI; Kembali
Pada Cita-cita Intelektual dan Kemanusiaan
Oleh: Dian K.
Sari
Himpunan
Mahasisa Islam (HMI) telah berusia 64 tahun pada 5 Februari 2011 ini. Usia yang
tidak bisa dibilang cukup tua dan belum muda apabila dianalogikan dengan
seorang manusia. Pada usia tersebut, sebagian manusia ada yang sudah tidak bisa
beraktivitas lagi karena faktor kesehatan. Selain itu, ada juga sebagian yang
masih produktif dan kreatif di usia itu. Namun, organisasi Himpunan Mahasiswa
Islam hanyalah sebuah alat, seperti yang diungkapkan Ahmad Wahib dalam bukunya
Pergolakan Pemikiran Islam. Organisasi yang hanya benda mati ini hanya bisa
‘bergerak’ ke depan jika kader-kader yang berada di dalamnya juga bergerak ke
depan.
Beberapa tahun
terakhir, himpunan ini mengalami degradasi besar-besaran baik secara kualitas
maupun kuantitas. Sebut saja degradasi pola pemikiran, intelektual, pergerakan,
perkaderan, hingga degradasi jumlah kader. Akibatnya, HMI yang dalam cita-cita
luhurnya sebagai organisasi yang berada di dekat kaum-kaum tertindas (mustadh’afin), telah kehilangan
orientasi yang mengarah pada cita-cita luhur tersebut. Sehingga masyarakat yang
seharusnya menjadi mitra kader HMI, tidak mengenal apa itu HMI. Penurunan ini
terlihat pada tubuh HMI secara nasional, meski tidak keseluruhan cabang di
nusantara mengalami itu. Pada tulisan ini, penulis menitikberatkan pada kondisi
himpunan di Cabang Pontianak.
Memang sulit
untuk menilai sebuah aktivitas secara kualitatif, dari segi kuantitatif saja
terlihat bagaimana penurunan yang terjadi pada kader HMI di Cabang Pontianak.
Misalnya, menurunnya jumlah aktivitas seperti diskusi, rapat koordinasi, upgrading,
dan sebagainya. Dimana kegiatan-kegiatan tersebut selain menambah wawasan dan
informasi juga dapat mempererat silaturahim antara pengurus dan anggota.
Penurunan jumlah aktivitas ini juga diperparah dengan renggangnya hubungan
antar komisariat – yang mana selama ini komisariat dianggap sebagai pengokoh
berdirinya cabang. Lagi-lagi disebabkan kehilangan orientasi tujuan gerakan
HMI.
Padahal, bila
ditelaah lebih jauh, gerakan yang dicita-citakan HMI (seperti yang diungkapkan
Cak Nur) adalah gerakan intelektual. Itulah sebabnya, beberapa pentolan HMI
terlahir sebagai pemikir yang diakui pada skala nasional. Lihat saja Nurcholish
Madjid, Anas Urbaningrum, Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, Sulastomo, Agussalim
Sitompul, dan yang lainnya. Gerakan intelektual yang dibangun HMI membuat
organisasi ini terkenal dengan kekritisan intelektualnya. Namun, tahun-tahun
terakhir ini, tradisi intelektual itu seperti telah menguap entah kemana. Sebab
itu, perlu dibangun kembali semangat intelektual di dalam tubuh HMI yang
dibarengi dengan semangat kemanusiaan
untuk membangun umat dan bangsa ke arah yang lebih baik.
Salah satu
bentuk kualitas kader yang dicitakan HMI adalah kualitas insan akademis. Pada
kualitas insan akademis ini diperjelas kembali dengan tiga poin. Pertama, berpendidikan
tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis. Kedua, memiliki
kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan, selalu
bertingkah laku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan kesadaran. Yang
terakhir, sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan
ilmu pilihannya, baik secara teoritis maupun tekhnis dan sanggup
bekerja secara
ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan
prinsip-prinsip perkembangan. Maka dari itu, untuk mewujudkan ketiga poin
diatas, dibutuhkan kekuatan tradisi intelektual pada diri kader HMI.
Tradisi
intelektual yang dibangun di HMI berupa kebiasaan membaca, menulis, dan
berdiskusi. Tiga hal ini tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan kader HMI.
Melalui tradisi intelektual ini, kader HMI tidak hanya bisa memahami HMI secara
komprehensif, tapi juga memahami setiap disiplin ilmu yang digelutinya.
Membangun semangat intelektual tidaklah terlalu sulit bila kader HMI memulainya
dari diri sendiri. Menumbuhkan kesadaran diri untuk belajar lebih banyak
merupakan starting point yang bagus
bagi kader HMI. Oleh karena itu, mengerti bahwa HMI merupakan organisasi
intelektual saja sudah cukup mendorong kader-kader HMI untuk terus berkarya
melalui aktivitas-aktivitas intelektual tersebut.
Kegiatan
intelektual yang didorong para kaum cendekia kepada generasi muda adalah
membaca. Mengapa membaca? Umat Islam tentunya mengetahui wahyu Allah yang
pertama kali turun adalah Iqro’ yang
berarti bacalah. Dari perintah tersebut, sangat jelas bahwa Allah ingin
umat-Nya memahami apa yang Dia wahyukan melalui membaca. Bukan hanya membaca
secara tekstual dari buku-buku atau tulisan-tulisan, namun juga “membaca” apa
yang sudah diciptakan-Nya di muka bumi ini. Dalam artian, bagaimana manusia
diberikan akal pikiran dan hati nurani untuk melihat, menelaah, memahami apa
esensi penciptaan manusia, karakter manusia itu sendiri, penciptaan
tumbuh-tumbuhan dan hewan, dan segala yang ada di sekeliling manusia.
Sebenarnya proses
“membaca” yang paling mendasar adalah “membaca” diri sendiri. Mengerti dan
mengenal diri sendiri akan membuat manusia rendah hati dan dapat memahami
karakter manusia lainnya karena telah mengetahui bahwa tak ada manusia yang
sempurna di dunia. Ali bin Abi Thalib juga berkata bahwa siapa yang mengenal
dirinya akan mengenal Tuhannya, begitu juga apa yang dikatakan oleh Aristoteles,
Gnoty Teatons yang artinya kenalilah
dirimu. Sehingga akan dengan mudah manusia berjalan di muka bumi karena telah
memahami dirinya sendiri dan tugasnya sebagai khalifah fil ardh.
Tradisi
intelektual selanjutnya adalah menulis. Menulis apa yang sudah dibaca dan
dipahami. Tidak hanya sekedar memenuhi tugas sebagai seorang mahasiswa dengan
membuat makalah, namun juga membangun kreativitas dengan menulis. Setelah
melakukan proses “membaca” seperti yang telah disebutkan di atas, maka proses
tersebut dilanjutkan dengan menulis. Untuk membangun semangat menulis,
menulislah hal-hal yang paling kecil dalam kehidupan. Misalnya, menulis
aktivitas sehari-hari yang biasanya dituangkan di dalam sebuah buku catatan
harian.
Sekali lagi,
menulis adalah proses pengenalan terhadap diri sendiri, baik itu karakter
maupun pola pikir manusia yang tertuang dalam sebuah tulisan. Tidak hanya
mengenal diri sendiri dan orang lain, orang lain pun mengenal seseorang dari
tulisan-tulisannya. Penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, berkata bahwa
menulis adalah pekerjaan yang abadi. Tulisan-tulisan yang diterbitkan menjadi
buku atau jurnal tak akan lekang oleh waktu meski sang penulis telah berada di
sisi Tuhannya. Tulisan-tulisan tersebut tak diragukan pula dapat menjadi bukti
sejarah yang paling valid dan akurat yang nantinya akan dibaca oleh generasi
anak cucu selanjutnya.
Kemudian,
aktivitas intelektual yang terakhir adalah diskusi. Diskusi adalah proses
pertukaran pikiran, ilmu, ide dan wawasan antar manusia. Di kelas-kelas
perkuliahan, ruang kerja, bahkan di luar ruangan pun tak dapat dihindari
melakukan aktivitas intelektual yang satu ini. Di setiap perguruan tinggi, kegiatan semacam diskusi ini
selalu dilestarikan. Diskusi dapat lahir dari perenungan, pengamatan, atau
bacaan yang dibaca. Dengan kegiatan diskusi semacam
ini mahasiswa dapat berbagi ilmu, berbagi masalah
dan berbagi solusi. Walaupun tak jarang diskusi-diskusi ini melibatkan
perbedaan pemikiran individunya yang mengakibatkan terjadi perdebatan panjang
yang tiada henti. Oleh karena itu, dalam diskusi biasanya diperlukan seorang
moderator atau penengah sebagai pengontrol jalannya diskusi.
Ketiga tradisi
intelektual ini menjadi sebuah lingkaran dalam kehidupan mahasiswa umumnya, dan
kader HMI khususnya. Karena
tanpa membaca dan diskusi tidak akan bisa menulis, tanpa membaca tidak akan
bisa berdiskusi dan jika hanya membaca tanpa berdiskusi dan menulis sama saja
kita hanya terkungkung dengan bacaan tersebut.
Ketiga aktivitas intelektual seperti itulah yang harusnya dimiliki HMI karena
terkenal dengan gerakan intelektualnya. Namun, seiring perubahan zaman yang
mengakibatkan perubahan pola pikir pula, proses intelektual tersebut juga
mengalami kemunduran dan kader HMI mengalami disorientasi gerakan. Lagi-lagi,
membangun kembali pandangan bahwa kader HMI adalah kader intelegensia menjadi
pekerjaan rumah bagi para pengurus dan anggota HMI.
HMI dan Masyarakat
Di dalam lima kualitas insan cita yang terdapat di tubuh
HMI dijelaskan bahwa kader-kader HMI dicetak sebagai insan pengabdi yang
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur. Pertanyaannya hari
ini adalah sejauh mana kedekatan kader HMI dengan masyarakat? Dan sejauh mana
masyarakat mengenal organisasi HMI itu sendiri. Himpunan Mahasiswa Islam telah
kehilangan taringnya di masyarakat. Padahal salah satu gerakan yang
dicita-citakan HMI adalah berada disisi kaum-kaum tertindas. Namun, lagi-lagi
harapan tak sesuai dengan kenyataan, bukannya berdiri di sebelah rakyat yang
tertindas, kini para kader HMI lebih senang berdiri di sebelah kaum-kaum elit
seperti pejabat dan pengusaha.
Pola pikir yang pragmatis dan materialistis disertai dengan
gaya hidup yang hedonis membuat para kader HMI lebih senang untuk duduk dekat
pejabat dibanding bersusah payah memakmurkan masyarakat. Isu-isu sosial yang
menerpa terkadang kurang direspon oleh kader HMI. Disamping itu, kegiatan yang
mendekatkan diri kader pada masyarakat juga mulai menurun, seperti tur dakwah,
safari ramadhan, bakti sosial, dialog dengan masyarakat, dan sebagainya.
Padahal dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut dapat meningkatkan rasa sosial
di dalam diri kader HMI. Saat ini yang dibutuhkan masyarakat bukan hanya
seorang penggerak yang hanya pandai berbicara, tapi juga pandai berbuat.
Berbuat banyak untuk kepentingan umat dan bangsa, tentunya. Oleh karenanya,
peran mahasiswa sebagai agen perubahan dan kontrol sosial sangat signifikan
untuk dioptimalkan di masyarakat. Padahal, bila dilihat dari sisi historis,
Himpunan Mahasiswa Islam didirikan salah satunya karena kondisi keumatan yang
berada pada kondisi krisis. Baik itu pemahaman keagamaan – khususnya Islam –
secara teoritis, maupun secara praktis. Pada masa itu, selain masalah keumatan,
rakyat Indonesia juga tengah dilanda krisis kebangsaan yaitu masalah penjajahan
dan organ-organ komunis yang secara ideologis menjadi musuh bersama rakyat
Indonesia.
Dari awal
terbentuknya, HMI telah memiliki komitmen keumatan dan kebangsaan yang bersatu
secara integral sebagai dasar perjuangan HMI yang dirumuskan dalam tujuan HMI,
yaitu mempertahankan negara Republik
Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang
didalamnya terkandung wawasan atau pemikiran kebangsaan atau keindonesiaan, dan
menegakkan
dan mengembangkan ajaran Islam yang didalamnya terkandung
pemikiran keislaman. Komitmen tersebut menjadi dasar perjuangan HMI didalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai organisasi kader, wujud nyata
perjuangan HMI dalam komitmen keumatan dan kebangsaan adalah melakukan proses
perkaderan yang ingin menciptakan kader berkualitas insan cita yang mampu
menjadi pemimpin yang amanah untuk membawa bangsa Indonesia mencapai asanya. Jadi, seharusnya masalah kemanusiaan, keumatan, dan
kebangsaan menjadi orientasi perjuangan kader HMI. Dengan intelektualitas yang
mumpuni dan semangat kesalehan sosial yang tinggi, kader HMI diharapkan mampu
mewujudkan cita-cita HMI sebagai bentuk pengabdian kepada umat dan bangsa.
REFERENSI:
Djohan Effendi dan Ismed Natsir
(Ed). 1982. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES.
Ahmad Gaus AF. 2010. Api Islam Nurcholish
Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Kompas
Konstitusi HMI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar